Sabtu, 03 Oktober 2015

LOMBA M2IQ 2014: Kepemimpinan Perempuan dalam Persfektif Islam

BAB I
LATAR BELAKANG

Awalnya perempuan dipandang rendah dan dianggap tidak boleh melakukan kegiatan seperti halnya laki-laki. Perempuan hanya boleh beraktifitas di dalam rumah dan berkewajiban menyelesaikan pekerjaan rumah. Bahkan sebelum datangnya Islam perempuan dianggap sebagai aib dan layaknya barang yang bisa diperjualbelikan. Islam hadir mengangkat derajat kaum wanita dan telah menempatkan kaum wanita secara proporsional dan sesuai dengan fitrahnya. 
Namun seiring dengan dengan kemajuan zaman, banyak perempuan yang mulai beraktifitas sama seperti halnya seperti laki-laki. Telah banyak perempuan yang bekerja di kantor, ada pula perempuan yang menjadi mejadi sopir, bahkan tidak sedikit pula yang menjadi pemimpin, baik pemimpin organisasi, pemimpin perusahaan, bahkan pemimpin negara.

Islam sebagai agama yang sempurna mengajarkan kepada umatnya berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, mulai dari masalah yang terlihat sederhana hingga masalah yang kompleks sekalipun. Di samping itu Islam mengajarkan persamaan di antara manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Yang menjadi titik perbedaan di antara manusia yang kemudian meninggikan hanyalah nilai iman dan takwanya kepada Allah Swt. Demikianlah yang ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-Hujurat (49) ayat 13.

Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat mengenai hak antara laki-laki dan perempuan menurut para ulama, terutama berkaitan dengan kepemimpinan perempuan. Boleh atau tidaknya kepemimpinan perempuan menimbulkan pro dan kontra antar para ulama. Misalnya masalah kepemimpinan dalam negara yang dipegang oleh umat Islam sekitar tahun 1989 ketika Benazir Bhuto terpilih menjadi presiden Pakistan, para fuqaha' ramai membincangkannya dan mencoba menggali bagaimana menurut hukum islam tentang kepemimpinan perempuan.

Dalam tulisan ini penulis tertarik membahas bagaimana sebenarnya menurut para ulama pandangan Islam terhadap kepemimpinan perempuan. Dengan rumusan masalah, bagaimana pandangann Islam mengenai kepemimpinan dan perempuan? Bolehkah seorang perempuan menjadi pemimpin? Dan siapa saja perempuan-perempuan yang pernah memimpin suatu negara.

 * * *


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Pemimpin dan Kepemimpinan

Kepemimpinan memiliki beberapa pengertian menurut para ahli. Menurut Rauch dan Behling, kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama. Oleh George P. Terry, kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok. Menurut Ordway Tead kempemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama mencapai tujuan tertentu yang diinginkan.

Kepemimpinan adalah seluruh tindakan guna mempengaruhi serta menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan adalah proses pemberian jalan yang mudah daripada pekerjaan orang lain yang terorganisir dalam organisasi formal guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sutikno: 2014, 16).
Dari defenisi-defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar dapat mencapai suatu tujuan. Dalam suatu kepemimpinan yang baik, diperlukan pemimpin yang baik pula.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemimpin diartikan sebagai orang yang memimpin. Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan (Sutikno: 2014, 9). 
Abdullah bin Abdul Hamid memiliki pandangan berbeda mengenai pemimpin. Menurut Abdullah pemimpin tidak hanya terbatas pada orang-orang yang menjadi ketua atau mengepalai suatu badan, organisai, perusahaan, instansi, lembaga, dan sebagainya. Menurutnya, setiap orang sekalipun tidak mempunyai bawahan, adalah pemimpin. Pimpinan dan kempemimpinan merupakan fitrah kemanusiaan. 
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 30:
Artinya:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. "Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? "Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Dalam persfektif Islam, kepemimpinan menggunakan beberapa istilah khusus, yaitu:
1.         Al Imam
Kata Al Imam berarti maju ke depan, dan berarti setiap orang yang diikuti oleh kaum yang sudah berada pada jalan yang benar ataupun mereka yang sesaat. Dalam Islam, imam adalah seseorang yang memimpin shalat.

2.         Al Khalifah
Secara bahasa berarti jadi (ada) di belakang dan didefenisikan sebagai orang yang menggantikan seseorang dari orang yang ada sebelumnya. Menurut para ulama, Al Khalifah dapat berarti Sang Penghuni Pemakmur, Wakil Tuhan, dan Sang Penerus.

3.         Al Amir
Secara bahasa, Al Amir  artinya menyuruh, lawan kata dari melarang, dan dari kata yang berarti bermusyawarah. Secara istilah berarti orang yang memerintah dan dapat diajak bermusyawarah. Dalam sejarah Islam, istilah yang sering digunakan adalah Amir al Mukminin.

4.         Al Malik
Al Malik berarti pemilik pemerintah dan kekuasaan pada suatu bangsa, suku, atau negeri.

5.         Al Sulthan
Secara bahasa berarti memaksa, dan menguasai. (Tim Dosen SPAI UPI)

Pada diri Nabi Muhammad SAW terdapat suri tauladan yang baik. Sebagaimana QS. Beliau memiliki sifat shidddiq, amanah, tabliq, dan fathanah. Sebaik-baik pemimpin adalah Baginda Muhammad SAW. 
    
B.  Perempuan dalam Pandangan Islam
Dahulu wanita dipandang sangat rendah, baik oleh bangsa-bangsa di Timur maupun Barat, begitu pun menurut pandangan agama yang ada sebelum agama Islam. Hak-hak wanita tak pernah diberikan, mereka begitu tertindas.

Secara historis, telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sejarah peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga laki-laki mendominasi semua peran di masyarakat sepanjang sejarah. Jadi, sejak awal sudah terjadi ketidaksetaraan yang menempatkan perempuan pada wilayah yang marginal. Peran-peran yang dimainkan kaum perempuan hanyalah peran-peran di sekitar rumah tangga. Sementara itu, kaum laki-laki dapat menguasai semua peran penting di tengah-tengah masyarakat. (Marzuki: 3)

Islam hadir mengangkat derajat kaum wanita dan telah menempatkan kaum wanita secara proporsional dan sesuai dengan fitrahnya. Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin telah mengangkat derajat kaum wanita dari penindasan dari ajaran-ajaran sebelumnya. Islam mengajarkan bahwa pria dan wanita itu sama yakni mempunyai hak dan kewajiban dan tidak ada yang lebih dimuliakan kecuali orang yang lebih bertaqwa. (Nasrah: 5-6)
Dalam pandangan tentang pria dan wanita al-Quran menerangkan bahwa keduanya dalam penciptaannya pada hakikatnya berasal dari satu jiwa dan sifat serta esensi yang sama pula. 
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (pelihara pula) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah yang Maha Mengawasi kamu”. (QS An Nisa: 1).

Ayat di atas mengantarkan lahirnya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat, serta saling bantu-membantu dan saling menyayangi karena semua manusia berasal dari satu keturunan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat serta saling menghormati hak-hak asasi manusia. (Shihab: 2002, 397-398)
 Disini jelas ditekankan bahwa tidak adanya perbedaan derajat antara pria dan wanita. Dengan kata lain tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Keduanya memang tidak diciptakan dalam bentuk yang sama persis, melainkan sebagai pasangan yang saling melengkapi manusia.

Firman Allah dalam Q.S An Nisa ayat 32:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Pasangan ini memiliki kemampuan yang berbeda, laki-laki lebih kuat fisiknya sehingga dapat bekerja yang berat sedangkan wanita fisiknya lembut, memungkinkan baginya pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan dalam kesabaran. Jiwa laki-Iaki lebih mudah bergalak dan lebih kasar sedangkan wanita lebih tenang dan lebih halus, yang membutuhkan pengayoman. Perbedaan in selintas menunjukkan masing-masing punya kelebihan dan kekurangan tetapi bila ditela’ah lebih jauh, ini merupakan sinkronisasi alam yang harmonis bila dipadukan. (Nasrah: 2004, 5)
Islam telah menempatkan wanita pada tempat yang sebaik-baiknya, namun kadang wanita tidak menyadarinya. Adapun hak-hak wanita yakni sebagaimana yang telah digariskan dalam Islam antara lain:
1)  Wanita menjadi pasangan bagi pria (OS. 4:1, 16:72, 2:187, 30:189, 42:11, 9:71, 49:13)
2)  Iman seorang wanita dinilai sama dengan pria tanpa perbedaan (OS 33:35, 38, 85:10, 47:19, 49:13)
3)  Wanita dan pria mendapat imbalan yang sama atas perbuatan amal kebaikannya (QS 33:35, 3:195, 4:124, 16:97, 49:13).
4)  Wanita dan pria memiliki hak dalam memperoleh harta dan memilikinya. (QS 4:4, 32) [Nasrah: 2004, 6]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam telah mengangkat derajat wanita sehingga tidak ada perbedaan martabat  laki-laki dengan wanita. Kelebihan dan kekurangan yang diciptakan pada laki-laki maupun wanita mengisyaratkan agar saling melengkapi.

C.   Kepemimpinan Perempuan dalam Persfektif Islam

Mengenai hak untuk menduduki jabatan pemimpin atau penguasa bagi perempuan, para ulama berbeda pendapat. Ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Sebagian ada yang membolehkan, ada juga yang melarang, bahkan mengharamkan sama sekali.

Menurut sebagian ulama ada beberapa alasan yang mengharamkan wanita menjadi pemimpin. Adapun alasan-alasan tersebut antara lain sebagai berikut:
1.        Al-Qur’an QS. Al Ma’idah : 34 yang artinya :
“Kaum laki-laki itu adalah qawwamun bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian  harta mereka.  Sebab itu maka wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lag memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.  Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nuzuznya (meninggalkan kewajiban suami istri) maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah ditempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyushkan mereka. Sesungguhnya Alah maha Tinggi lagi maha Besar”.

Menurut Quraish Shihab dalam tafsirannya, Tafsir al-Mishbāh menyebutkan bahwa:
Kaum laki-laki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami itu adalah qawwamun pemimpin dan penanggung jawab atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka yakni (laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk isteri dan anak-anaknya. (Kinana: 4)

2.    Pemimpin wanita pasti merugi, sebagaimana dikatakan Abu Bakrah dalam suatu hadits yang artinya:
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau lantas bersabda, ‘Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita’.” (HR. Bukhari)
Memang benar hadits Rosulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam tersebut berkaitan dengan kasus bangsa Parsi yang kerajaannya menjadi hancur karena telah merobek-robek surat Rosulullah kepadanya. Akan tetapi, sabda beliau tidak hanya tertuju untuk kasus kisra, tetapi berlaku umum. Pernyataan beliau menggunakan lafadz umum yaitu “Tidak akan pernah beruntung sautu kaum yang menjadikan seorang perempuan memimpin urusan mereka”. Dalam sabda beliau ini tidak disebut bangsa Parsi, tetapi kaum secara umum.

3.      Wanita kurang akal dan agama. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
 Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita”. (HR. Bukhari)
Nabi SAW menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kurang akalnya adalah dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tidak bisa sendirian, harus bersama wanita lainnya.
Dan yang dimaksud dengan kurangnya agama adalah ketika wanita tersebut dalam kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya. Inilah yang dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292)

Namun ada juga ulama yang membolehkan wanita menjadi seorang pemimpin dengan alasan sebagai berikut:
1.      Surat an Nisa ayat 34 hanya berkaitan dengan kepemimpinan keluarga bukan pemimpin negara. (Kinana: 5) Menurut Muhammad Abduh dalam Muhammad Rasyid Ridha yang dikutip oleh Kasjim Salenda, klausa ayat terdapat dalam Q.S An Nisa ayat 34 menunjukkan kelebihan jeis laki-laki atas jenis perempuan secara umum, bukan secara perorangan. (Salenda: 371)
2.      Tidak ada ayat yang secara tegas melarang wanita menjadi pemimpin
3.      Perempuan dan laki-laki sama sebagai kholifah
4.      Laki-laki dan perempuan sama martabat dan harkatnya (At Taubah ayat 71)
5.      Perempuan juga bertanggung jawab membangun pemerintah
6.      Islam memberi hak politik kepada wanita
7.      Perempuan boleh menjadi imam sholat

Dalam Huzaemah yang dikutip Muhammad Kinana bahwa Dr. Kamal Jaudah mengemukakan bahwa perempuan diperbolehkan menjadi kepala negara atau pemerintahan (perdana menteri) selama dalam suatu negara, di mana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli, sesuai dengan bidang masng-masing (menteri dan staf ahli). (Kinana: 9)

Adapun persyaratan untuk menjadi pemimpin antara lain:
1.         Iman dan Taat (Q.S Al Baqarah: 124)
2.         Berilmu (Q.S  An Naml: 15-16)
3.         Amanah (QS. Yusuf: 54-55)
4.         Berani
5.         Kuat (QS. 28: 26)
6.         Profesional (H.R. Abu Ya’la dan Thabrani)
7.         Bertanggung Jawab (Q.S Yunus: 41)
8.         Sabar (QS. Al An’am: 34)
9.         Adil (QS. Al Maidah: 8)
10.     Ikhlas (Luthan: 2014, 22)

Khalifah Abu Bakar As Shiddiq RA. merumuskan tujuh point persyaratan pemimpin yaitu:
1.         Rendah hati
2.         Terbuka untuk dikritik
3.         Jujur dan memegang amanah
4.         Berlaku Adil
5.         Komitmen dalam perjuangan
6.         Bersikap demokratis
7.         Berbakti dan mengabdi pada Allah SWT.

Menurut Al-Mawardi, pemimpin harus memenuhi persyaratan, yaitu:
1.      Adil meliputi segala aspeknya
2.      Berilmu pengetahuan
3.      Sehat indranya
4.      Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat
5.      Memiliki kecerdasan
6.      Keberanian dan ketegasan
7.      Keturunan dari suku Qureys (zaman Rasulullah)

Menurut Ibnu Khaldun:
1.         Berpengetahuan
2.         Berkeadilan
3.         Berkesanggupan
4.         Sehat jasmani dan rohani
5.         Keturunan Qureys.

Dari persyaratan-persyaratan yang dirumuskan khalifah dan ulama atau pemikir siyasah Islam di atas tidak satu pun yang menyebutkan bahwa syarat seorang pemimpin harus laki-laki.

D.  Perempuan sebagai Pemimpin dalam Sejarah 
Pada masa Nabi Muhammad SAW. kaum perempuan sudah memainkan peran-peran publik (di luar peran domistik) dalam rangka menegakkan kalimat-kalimat Allah, seperti melakukan dakwah Islam, ikut berhijrah bersama Nabi, berbai’at kepada Nabi Saw., melakukan jihad atau ikut serta dalam peperangan bersama-sama kaum laki-laki. Peran-peran perempuan seperti itu memiliki nilai politis yang tinggi, mengingat perempuan dapat melakukan peran yang sama seperti halnya laki-laki dalam rangka memenuhi tuntutan dan kewajiban beragama untuk menegakkan kalimat Allah.
Kaum perempuan juga aktif memainkan peran-peran politis pada masa Khulafaur Rasyidin. Perempuan ikut berperan dalam mendukung berdirinya khilafah sepeninggal Nabi. Perempuan juga terlibat aktif dalam jihad melawan orang-orang yang murtad dan usaha-usaha rekonsiliasi pada saat kekacauan politik di masa Usman dan Ali. Ummahat al-Mu’minin menjadi motor penggerak kaum perempuan pada waktu itu untuk aktif dalam peran-peran politik, terutama yang diperankan oleh Sayyidatina Aisyah r.a. Problem besar yang dihadapi pada saat ini adalah bahwa lawan-lawan yang dihadapi pada saat kekacauan adalah sesama Muslim.
Pada masa selanjutnya, ketika pemerintahan Islam dipegang daulah yang berdasarkan dinasti, peluang perempuan di bidang pemerintahan semakin besar. Bahkan terdapat beberapa perempuan yang diangkat sebagai kepala negara, seperti ad Dur (Mesir), Padishah Khatun (Dinasti Mongol), dan Tal al Alam Safiataddin Shah (Aceh). (Suhandjati: 2013, 60)
Pemerintahan para sultanah itu diakui oleh rakyatnya. Mereka sebagian besar adalah keturunan atau keluarga sultan. Namun pengangkatannya tidak semata-mata karena warisan, tetapi mereka mendapat persetujuan pula dari pembesar kerajaan dan rakyatnya. (Suhandjati: 2013, 65)
Di era pemerintahan modern, terdapat juga pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang perempuan yaitu Benazir butho dari Palistan. Ia dipilih oleh rakyatnya secara langsung. Selain itu adapula contoh sejarah yang diangkat Al-Qur’an sebagai model pemerintahan yang dipimpin oleh Ratu Balqis dari Saba’. Al Qur’an mengisahkan adanya kerajaan yang dipimpin oleh seorang wanita melalui firman Allah dalam QS. Al Naml ayat 22-23. Menurut Muhammad Kinana pengangkatan tema Ratu Balqis di dalam Al-Qur’an mengandung makna implisit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki.


* * *


BAB III
KESIMPULAN

Dengan demikian dapat disimpulkan tidak terhalang perempuan itu untuk menjadi pemimpin selama dia mampu dan masyarakat membutuhkannya. Namun ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya dalam rumah tangga dan dalam tugas kepemimpinannya tetap berada di jalur yang ditetapkan oleh Islam. Namun, bila ada lelaki, maka harus tetaplah mengutamakan laki-laki.



* * *


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2014. Fatwa-Fatwa Muhammad Seputar Masalah Pemimpin Sumpah & Nadzar. Jaya Mulia Pustaka.
Kinana, Muhammad. Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Al-Qur’an: Perempuan sebagai Pimpinan Publik diakses tanggal 26 Oktober 2014. 
Luthan, Fauzi. 2014. Memilih Pemimpin yang Bernilai Ibadah Menurut Tuntunan Islam. Bandung: Al Fikriis.
Nasrah. 2004. Perempuan dan Pemimpin dalam Islam (Suatu Kajian Islamologi). Jurnal USU 2004.
Salenda, Kasjim. 2012. Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam. Jurnal Ar Risalah Vol. 12 Nomor 2 November 2012.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran. Jakarta: Lentera Hati.
Suhandjati, Sri. 2013. Mitos Perempuan Kurang Akal dan Agamanya. Semarang: RaSAIL Media Group.
Sutikno, Sobry. 2014. Pemimpin dan Kepemimpinan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar