A.
Pengertian Ilmu Hadits
Secara etimologi ilmu hadits terdiri dari dua kata yakni ilmu
dan hadits. Secara sederhana ilmu berarti pengetahuan dan hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan. Defenisi ilmu hadits menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah:
“Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang
dijadikan sambungan untuk mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkan”.
Atau
defenisi yang lebih singkat:
“Kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan
yang diriwayatkannya”.
Menurut
ulama mutaqaddim, yang dimaksud dengan ilmu hadits adalah:
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang
cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW dari segi hal ihwal para
perawinya, kedabitannya, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad, dan
sebagainya”.
Dari defenisi di
atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang
keadaan atau sifat perawi dan yang diriwayatkan. Pada perkembangan selanjutnya,
ulama mutaakhirin membagi hadits menjadi dua macam, yaitu:
a. Ilmu Hadits Riwayah
Pendiri ilmu hadits
ini adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri. Ia adalah orang pertama melakukan
penghimpunan Ilmu Hadits Riwayah secara formal berdasarkan intruksi Khalifah
Umar bin Abdul Aziz.
Menurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa,
yarwi, riwayatan yang berarti an-naql (memindahkan), adz-dzikr (penyebutan), dan al-fatl (pemintalan/ pertimbangan). Dalam pengertian ini periwayatan adalah
memindahkan berita atau menyebutkan berita dari orang tertentu kepada orang
lain dengan dipertimbangkan lafadz kebenarannya. Dalam bahasa Indonesia sering
disebut riwayat yang berarti memindahkan berita dari suatu sumber kepada orang
lain.
Menurut Dr. Subhi
Ash-Shalih, pengertian ilmu hadits riwayah yaitu:
“Ilmu
hadits ialah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan
berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat serta segala sesuatu yang
disandarkan kepada sahabat dan tabi’in”.
Ibn Akfani
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits riwayah adalah:
“Ilmu
pengetahuan yag mencakup segala perkataan, dan perbuatan Nabi SAW, baik
periwayatnya, pemeliharaannya, maupun penulisan atau pembukuan
lafadz-lafadznya”.
Dari defenisi di atas, memberi makna yang sama yakni objek
pembahasan ilmu ini adalah diri Nabi (dzatiyat ar-rasul), baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun persetujuan beliau, dan bahkan sifat-sifat beliau
diriwayatkan secara teliti dan hati-hati, tanpa membicarakan nilai shahih atau
tidaknya.
Ilmu hadits riwayah mempelajari tentang periwayatan yang
mengakumulasi apa, siapa, dan dari siapa berita itu diriwayatkan tanpa
mempersyaratkan shahih atau tidaknya suatu periwayatan. Ilmu yang membahas
diterima atau tidaknya suatu periwayatan tidak dipelajari pada ilmu hadits
riwayah. Fokus utama pembahasan ilmu hadits ini adalah matan yang diriwayatkan
itu sendiri.
Adapun manfaat mempelajari ilmu hadits ini antara lain:
1. Memelihara hadits secara berhati-hati dari segala
kesalahan dan kekurangan dalam periwayatannya.
2.
Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam
sehingga dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
3.
Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW.
Pada dasarnya suatu hadits terdiri dari matan dan sanad.
Adanya matan tanpa sanad tidak dinamakan hadits. Maka dari itu Ilmu Hadits
Riwayah tidak dapat dipisahkan dengan Ilmu Hadits Dirayah.
b. Ilmu Hadits Dirayah
Pendiri ilmu hadis
ini adalah Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurzumi.
Dengan adanya ilmu ini seseorang dapat mengetahui periwayatan maqbul atau mardud.
Dari segi bahasa kata dirayah berasal dari kata dara,
yadri, daryan, dirayatan/dirayah yang
berarti pengetahuan. Secara istilah Ilmu Hadits Dirayah menurut Al-Akfani
adalah:
“Ilmu
yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macamnya,
dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam
periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya”.
Al-Tirmidzi mendefinisikan
ilmu ini dengan:
“Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk
mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat
perawi, dan lain-lain”.
Adapun pengertian
hadits yang diajukan ulama mutaqaddimin oleh ulama mataakhirin dimasukkan ke
dalam pengertian Ilmu Hadits Dirayah. Fokus utama Ilmu Hadits ini adalah
pengetahuan hadits, baik dari segi keadaan sanad dan matan, apakah sudah
memenuhi persyaratan sebagai hadits yang diterima atau ditolak. Tujuan
mempelajari ilmu ini adalah untuk meneliti hadits berdasarkan kaida-kaidah atau
persyaratan dalam periwayatan.
Ilmu Hadits Dirayah
disebut juga sebagai Ilmu
Musthalah Al-Hadits, Ilmu Ushul Al-Hadits, Ushul
Ar-Riwayah, dan Qawa’id Al-Hadits.
B. Sejarah
Perkembangan Ilmu Hadits
Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits sejak mengirinya saat
masa Rasulullah, sekalipun belum dinyatakan secara ekplisit. Pada masa Nabi SAW
masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika
menghadapi masalah dapat ditanyakan langsung kepada Nabi tentang kebenarannya.
Maka dari itu belum ada terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits.
Meskipun pada masa Nabi tidak dinyatakan ilmu hadits, tetapi para
peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar Al-Quran mengenai anjuran
pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah
SWT dalam surat Al-Hujurat (49): 6:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman
jika dating kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Demikian juga dalam surat Ath-Talaq (65): 2:
Artinya: “Persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu”.
Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji
berita yang dibawa oleh seorang fasik.Tidak semua apa yang disampaikan
seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawa dan apa isi beritanya.
Jika orang jujur, adil, dan dapat dipercaya diterima, begitu juga sebaliknya.
Setelah Rasulullah wafat, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits. Para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali disertai
saksi dan bersumpah bahwa hadits yang dibawa benar-benar dari Rasulullah. Pada
awal Islam belum diperlukan sanad, karena orangnya masih jujur dan saling
mempercayai satu sama lain.
Akan tetapi setelah konflik politik antara pendukung Ali dan Muawiyah,
terjadi perpecahan antar umat yang membentuk sekte-sekte. Setelah itu mulailah
terjadi pemalsuan hadits untuk mendukung masing-masing sekte. Maka dari itu
para ulama bangkit dan mensyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat
hadits harus disertai dengan sanad.
Perkembangan ilmu hadits semakin pesat ketika ahli hadits membicarakan
tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadits kuat atau tida, bagaimana
metode penerimaannya dan penyampaiannya, dan lain-lain. Namun aktifitas seperti
itu baru berjalan secara lisan.
Ketika pertengahan abad ke-2 sampai abad ke-3 H ilmu hadits mulai
ditulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum berdiri sendi,
belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain. Misalnya ilmu hadits bercampur dengan
ushulul fikh seperti kitab Ar-Risalah oleh Asy-Syafi’i.
Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits yang disebut masa
kejayaan atau keemasan hadits, yaitu abad ke-3 H. Namun penulisan hadits belum
menyatu, masih dalam bentuk bab-bab saja. Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadits
yang ditulis pada abad ini, contohnya At-Tharikh Al-Kabir Al-Bukhari, Thabaqat
At-Tabi’in dan ‘ilal karya Muslim, Kitab Al-Asma wa Al-Kuna dan Kitab
At-Tawarikh karya At-Tirmidzi.
Perkembangan ilmu Hadits mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri
pada abad ke-4 H, yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu
yang berkembang pada abad-abad sebelumnya.Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin
Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi adalah orang pertama memunculkan ilmu
hadits yang paripurna dan berdiri sendiri dalam karyanya Al-Muhaddits
Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Dan kemudian diikuti oleh penulis-penulis
lainnya, seperti Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdadi, Al-Hakim, dan lain-lain.
C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu Hadits
Riwayah dan Dirayah ini, pada perkembangannya muncul cabang-cabang ilmu hadits
lain, yaitu:
1. Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu ini sangat
penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Ilmu ini untuk mengetahui para
perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits. Ilmu hadits ini dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Ilmu Al-Jahr, secara bahasa berarti luka,
cela, atau cacat, yaitu ilmu yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti
pada keadilan dan kedhabitannya. Sedangkan lawannya adalah At-Ta’dil berarti
menyamakan. Secara istilah At-Ta’dil berarti pembersihan atau persucian perawi
dan ketetapan, bahwa ia adil atau dhabit.
Menurut Dr. Shubhi Ash-Shalih ilmu ini
adalah ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari
keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka, atau yang memuji mereka dengan
menggunakan kata-kata khusus.
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui para
rawi, antara lain “ … “ (Fulan orang yang paling dipercaya).
Sedangkan ungkapan untuk mengetahui kecacatan perawi contohnya “ … “ (Fulan orang yang paling
berdusta).
Kecacatan rawi dapat ditelusuri melalui
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, popularitas para perawi di kalangan ahli
ilmu, dan berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain
yang adil.
b. Ilmu Tarikh Ar-Ruwah
Adalah ilmu mempelajari waktu yang membatasi
keadaan kelahiran, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain. Dengan kata lain
ilmu ini membahas tentang hal keadaan para perawi hadits dan biografinya dari
segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa-siapa saja atau dari siapa mereka
menerima hadits. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung atau
tidaknya sanad suatu hadits.
2. Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Kata
‘ilal adalah bentuk jama’ dari kata “al-‘illah”, yang menurut
bahasa berarti sakit atau penyakit. Menurut muhaddisin, istilah ‘illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat
tercemarnya hadits, akan tetapi yang terlihat adalah kebalikannya yakni tidak
terlihat adanya kecacatan.
Ilmu ini mempelajari sebab-sebab yang tersembunyi
yang dapat mencacatkan keshahihan hadits, seperti mengatakan muttashil terhadap hadits yang munqathi, menyebutkan marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkan hadits ke dalam hadits yang lain, dan hal-hal lain.
3. Ilmu An-Nasikh wa Al-Mansukh
Menurut
ahli hadits, ilmu ini adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
menasakh dan yang dinasakh. Ilmu ini membahas hadits-hadits yang berlawanan
yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan),
dan pada akhirnya terjadilah saling menghapus, dengan ketentuan yang dating
terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian disebut nasikh.
4. Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
Ilmu
ini membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan waktu
beliau menuturkan itu. Contohnya sabda Rasul SAW tentang kesucian air laut dan
apa yang ada di dalamnya. Ia bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal
bangkaianya”. Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah saat berada di tengah
lautan dan ada seseorang sahabat yang merasa kesulitan berwudhu karena tidak
mendapat air (tawar).
5. Ilmu Garib Al-Hadits
Gharib
Al-Hadits adalah ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk
dipahami yang terdapat dalam matan hadits (lafadz tersebut) jarang digunakan.
Ilmu ini timbul atas usaha para ulama untuk memudahkan dalam memahami
hadits-hadits yang mengandung lafazh
yang gharib tersebut.
6. Ilmu At-Tashif wa At-Tahrif
Ilmu
ini membahas hadits-hadits yang diubah titiknya (mushhaf) atau dirubah
bentukanya (muharraf).
Tujuannya
mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits
dan bagaimana sesungguhnya yang benarsehingga tidak terjadi kesalahan
terus-menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasa dan ke-dhabith-an seorang perawi.
_ _ _ _ _
Referensi:
_ _ _ _ _
Referensi:
Majid Khon, Abdul. 2007. Ulumul
Hadits. Jakarta: Amzah.
Suparto, Munzier. 2001. Ilmu
HaditsI. Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar