Jumat, 29 Juni 2012

Ilmu Hadits: Pengertian Ilmu Hadits, Sejarah Perkembangan, dan Cabang-Cabang Ilmu Hadits

A.        Pengertian Ilmu Hadits
Secara etimologi ilmu hadits terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadits. Secara sederhana ilmu berarti pengetahuan dan hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Defenisi ilmu hadits menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah:
  
Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkan”.

Atau defenisi yang lebih singkat:

Kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkannya”.

Menurut ulama mutaqaddim, yang dimaksud dengan ilmu hadits adalah:
Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW dari segi hal ihwal para perawinya, kedabitannya, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad, dan sebagainya”.

Dari defenisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan atau sifat perawi dan yang diriwayatkan. Pada perkembangan selanjutnya, ulama mutaakhirin membagi hadits menjadi dua macam, yaitu:

a.   Ilmu Hadits Riwayah
Pendiri ilmu hadits ini adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri. Ia adalah orang pertama melakukan penghimpunan Ilmu Hadits Riwayah secara formal berdasarkan intruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Menurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql (memindahkan), adz-dzikr (penyebutan), dan al-fatl (pemintalan/ pertimbangan). Dalam pengertian ini periwayatan adalah memindahkan berita atau menyebutkan berita dari orang tertentu kepada orang lain dengan dipertimbangkan lafadz kebenarannya. Dalam bahasa Indonesia sering disebut riwayat yang berarti memindahkan berita dari suatu sumber kepada orang lain.

Menurut Dr. Subhi Ash-Shalih, pengertian ilmu hadits riwayah yaitu:

Ilmu hadits ialah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat serta segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in”.

Ibn Akfani mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits riwayah adalah:

Ilmu pengetahuan yag mencakup segala perkataan, dan perbuatan Nabi SAW, baik periwayatnya, pemeliharaannya, maupun penulisan atau pembukuan lafadz-lafadznya”.

Dari defenisi di atas, memberi makna yang sama yakni objek pembahasan ilmu ini adalah diri Nabi (dzatiyat ar-rasul), baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan beliau, dan bahkan sifat-sifat beliau diriwayatkan secara teliti dan hati-hati, tanpa membicarakan nilai shahih atau tidaknya.

Ilmu hadits riwayah mempelajari tentang periwayatan yang mengakumulasi apa, siapa, dan dari siapa berita itu diriwayatkan tanpa mempersyaratkan shahih atau tidaknya suatu periwayatan. Ilmu yang membahas diterima atau tidaknya suatu periwayatan tidak dipelajari pada ilmu hadits riwayah. Fokus utama pembahasan ilmu hadits ini adalah matan yang diriwayatkan itu sendiri.

Adapun manfaat mempelajari ilmu hadits ini antara lain:
1. Memelihara hadits secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam periwayatannya.
2.     Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam sehingga dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
3.      Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW.

Pada dasarnya suatu hadits terdiri dari matan dan sanad. Adanya matan tanpa sanad tidak dinamakan hadits. Maka dari itu Ilmu Hadits Riwayah tidak dapat dipisahkan dengan Ilmu Hadits Dirayah.

b.   Ilmu Hadits Dirayah
Pendiri ilmu hadis ini adalah Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurzumi. Dengan adanya ilmu ini seseorang dapat mengetahui periwayatan maqbul atau mardud.

Dari segi bahasa kata dirayah berasal dari kata dara, yadri, daryan, dirayatan/dirayah yang berarti pengetahuan. Secara istilah Ilmu Hadits Dirayah menurut Al-Akfani adalah:

“Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macamnya, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya”.

Al-Tirmidzi mendefinisikan ilmu ini dengan:

Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi, dan lain-lain”.

Adapun pengertian hadits yang diajukan ulama mutaqaddimin oleh ulama mataakhirin dimasukkan ke dalam pengertian Ilmu Hadits Dirayah. Fokus utama Ilmu Hadits ini adalah pengetahuan hadits, baik dari segi keadaan sanad dan matan, apakah sudah memenuhi persyaratan sebagai hadits yang diterima atau ditolak. Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk meneliti hadits berdasarkan kaida-kaidah atau persyaratan dalam periwayatan.

Ilmu Hadits Dirayah disebut juga sebagai Ilmu Musthalah Al-Hadits, Ilmu Ushul Al-Hadits, Ushul Ar-Riwayah, dan Qawa’id Al-Hadits.

B.    Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits sejak mengirinya saat masa Rasulullah, sekalipun belum dinyatakan secara ekplisit. Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi masalah dapat ditanyakan langsung kepada Nabi tentang kebenarannya. Maka dari itu belum ada terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits.

Meskipun pada masa Nabi tidak dinyatakan ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar Al-Quran mengenai anjuran pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat (49): 6:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jika dating kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Demikian juga dalam surat Ath-Talaq (65): 2:

Artinya: “Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”.

Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa oleh seorang fasik.Tidak semua apa yang disampaikan seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawa dan apa isi beritanya. Jika orang jujur, adil, dan dapat dipercaya diterima, begitu juga sebaliknya.

Setelah Rasulullah wafat, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali disertai saksi dan bersumpah bahwa hadits yang dibawa benar-benar dari Rasulullah. Pada awal Islam belum diperlukan sanad, karena orangnya masih jujur dan saling mempercayai satu sama lain.

Akan tetapi setelah konflik politik antara pendukung Ali dan Muawiyah, terjadi perpecahan antar umat yang membentuk sekte-sekte. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadits untuk mendukung masing-masing sekte. Maka dari itu para ulama bangkit dan mensyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad.

Perkembangan ilmu hadits semakin pesat ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadits kuat atau tida, bagaimana metode penerimaannya dan penyampaiannya, dan lain-lain. Namun aktifitas seperti itu baru berjalan secara lisan.

Ketika pertengahan abad ke-2 sampai abad ke-3 H ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum berdiri sendi, belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain. Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ushulul fikh seperti kitab Ar-Risalah oleh Asy-Syafi’i.

Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits yang disebut masa kejayaan atau keemasan hadits, yaitu abad ke-3 H. Namun penulisan hadits belum menyatu, masih dalam bentuk bab-bab saja. Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadits yang ditulis pada abad ini, contohnya At-Tharikh Al-Kabir Al-Bukhari, Thabaqat At-Tabi’in dan ‘ilal karya Muslim, Kitab Al-Asma wa Al-Kuna dan Kitab At-Tawarikh karya At-Tirmidzi.

Perkembangan ilmu Hadits mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H, yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada abad-abad sebelumnya.Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi adalah orang pertama memunculkan ilmu hadits yang paripurna dan berdiri sendiri dalam karyanya Al-Muhaddits Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Dan kemudian diikuti oleh penulis-penulis lainnya, seperti Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdadi, Al-Hakim, dan lain-lain.


C.   Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, pada perkembangannya muncul cabang-cabang ilmu hadits lain, yaitu:
1.   Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Ilmu ini untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits. Ilmu hadits ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Ilmu Al-Jahr, secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, yaitu ilmu yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Sedangkan lawannya adalah At-Ta’dil berarti menyamakan. Secara istilah At-Ta’dil berarti pembersihan atau persucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dhabit.
Menurut Dr. Shubhi Ash-Shalih ilmu ini adalah ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka, atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui para rawi, antara lain “  …  “ (Fulan orang yang paling dipercaya). Sedangkan ungkapan untuk mengetahui kecacatan perawi contohnya “ …      “ (Fulan orang yang paling berdusta).
Kecacatan rawi dapat ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, popularitas para perawi di kalangan ahli ilmu, dan berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil.
b.      Ilmu Tarikh Ar-Ruwah
Adalah ilmu mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain. Dengan kata lain ilmu ini membahas tentang hal keadaan para perawi hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa-siapa saja atau dari siapa mereka menerima hadits. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad suatu hadits.

2.   Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Kata ‘ilal adalah bentuk jama’ dari kata “al-‘illah”, yang menurut bahasa berarti sakit atau penyakit. Menurut muhaddisin, istilah ‘illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadits, akan tetapi yang terlihat adalah kebalikannya yakni tidak terlihat adanya kecacatan.

 Ilmu ini mempelajari sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan keshahihan hadits, seperti mengatakan muttashil terhadap hadits yang munqathi, menyebutkan marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkan hadits ke dalam hadits yang lain, dan hal-hal lain.

3.   Ilmu An-Nasikh wa Al-Mansukh
Menurut ahli hadits, ilmu ini adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menasakh dan yang dinasakh. Ilmu ini membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan), dan pada akhirnya terjadilah saling menghapus, dengan ketentuan yang dating terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian disebut nasikh.

4.   Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
Ilmu ini membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu. Contohnya sabda Rasul SAW tentang kesucian air laut dan apa yang ada di dalamnya. Ia bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkaianya”. Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah saat berada di tengah lautan dan ada seseorang sahabat yang merasa kesulitan berwudhu karena tidak mendapat air (tawar).

5.   Ilmu Garib Al-Hadits
Gharib Al-Hadits adalah ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan hadits (lafadz tersebut) jarang digunakan. Ilmu ini timbul atas usaha para ulama untuk memudahkan dalam memahami hadits-hadits  yang mengandung lafazh yang gharib tersebut.

6.   Ilmu At-Tashif wa At-Tahrif
Ilmu ini membahas hadits-hadits yang diubah titiknya (mushhaf) atau dirubah bentukanya (muharraf).

Tujuannya mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benarsehingga tidak terjadi kesalahan terus-menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasa dan ke-dhabith-an seorang perawi.







_ _ _ _ _
Referensi:

Majid Khon, Abdul. 2007. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Suparto, Munzier. 2001. Ilmu HaditsI. Jakarta: Rajawali Pers.









             






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar