Pembahasan gender tidak
terlepas dari ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu
masalah tersebut harus diatasi dengan mengetengahkan konsep pembangunan
berwawasan gender (gender and development GAD) sebagai konsep peranan perempuan
dalam pembangunan. Konsep GAD ini merupakan cerminan yang menempatkan perempuan
dan laki-laki sesuai dengan fungsi, hak, kewajiban, dan kodratnya. Tetapi dari
implementasinya belum terncermin konsep GAD tersebut. Sehingga isu-isu gender
meliputi diskriminasi perempuan dalam kesetaraan dan keadilan gender.
Pada dasarnya diskriminasi
gender adalah setiap pembedaan atau pembatasan seseorang karena alasan gender,
sehingga mengkibatkan penolakan pengakuan, penolakan keterlibatan, pelanggaran
atas pengakuan hak asasinya, dan penolakan persamaan antara laki-laki dan
perempuan, serta hak dasarnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Beberapa bentuk diskriminasi antara lain:
a. Diskriminasi secara langsung, adalah jika
seseorang diperlukan dengan berbeda secara langsung dalam bentuk diskriminasi
akibat prilaku, sikap, atau akibat dari suatu aturan.
b. Diskriminasi secara tidak langsung, adalah
jika suatu peraturan atau kebijakan sama tetapi berakibat hanya pada kelompok
atau jenis kelamin tertentu saja.
c. Diskriminasi sistemik, terjadi sebagai
hasil ketidakadilan yang berakar dalam
sejarah, adat, norma, dan struktur masyarakat yang mewariskan keadaan
diskriminatif.
Dari berbagai diskriminasi
yang bersumber dari keyakinan gender, maka akan muncullah ketidakadilan gender.
Bentuk diskriminasi dan ketidakadilan itu dasarnya adalah karena keyakinan di
masyarakat (konstruksi sosial). Misalnya perempuan tidak bisa dari pemimpin
karena perempuan itu lembut, keibuan, dan bersifat emosional, sedangkan pria
tegas, keras, dan rasional.
Adapun bentuk-bentuk
ketidakadilan gender tersebut antara lain:
a. Subordinasi
Subordinasi di sini berhubungan dengan hal politik dan proses pengambilan keputusan dan pengendali kekuasaan. Meskipun jumlah perempuan mencapai 50%, namun mereka ditentukan dan dipimpin oleh kaum laki-laki. Subordinasi tersebut tidak hanya secara global malainkan juga dalam birokrasi pemerintahan.
b. Marginaslisasi
Marginaslisasi terjadi dalam budaya, birokrasi, maupun program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian ”green revolition”, di sini kaum perempuan secara sistematis disingkirkan.
c. Stereotip
Stereotip adalah suatu bentuk ketidakadilan budaya yakni pemberian label negatif yang memojokkan kaum perempuan sehingga berakibat pada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya label kaum perempuan sebagai ”ibu rumah tangga”.
d. Beban Kerja
Dari observasi menunjukkan bahwa kaum perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan domestik. Sehingga walaupun mereka bekerja di tempat kerja, mereka juga harus mengerjakan pekerjaan domestik.
e. Sosialisasi Keyakinan Gender
Sosialisasi keyakinan gender mengakibatkan tersosialisasinya citra, posisi, kodrat, dan penerimaan nasib perempuan yang ada. Dengan kata lain segenap manifestasi dan ketidakadilan gender juga merupakan proses penjinakan sehingga kaum wanita sendiri menganggap kondisi atau posisi seperti itu sebagai norma dan kodrati.
Untuk menghentikan
ketidakadilan gender diperlukan usaha multidisiplin dan berbagai kegiatan, di
antaranya:
1. Kekerasan bagi Perempuan
Sejarah manusia secara global tidak hanya diwarnai dengan kemajuan, namun juga dotori oleh kekerasan, seperti tindakan pemaksaan, perkosaan, pembantaian, pembunuhan, dan peperangan. Namun sebagian dari kekerasan itu sering tidak dianggap serius dan cenderung membudaya, walaupun mengancam keselamatan tubuh dan nyawa kaum perempuan.
Untuk
menghapus segala bentuk tindak kekerasan terhadap kaum perempuan in family,
within the community and state ciolence sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi
kaum perempuan hendaknya didasari atas kebijakan nasional ”zero tolerance
policy” (tindak kekerasan sekecil apapun tidak dapat ditoleransi).
2. Kesehatan Reproduksi Perempuan
Pembahasan kesehatan reproduksi tidak terlepas dari persoalan hak-hak reproduksinya. Dokumen ICPD Kairo tentang hak-hak reproduksi yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia dan harus dipahami oleh setiap individu mencakup tiga hal pokok, yaitu:
a. Hak pasangan dan individu untuk menentukan
secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak kelahiran
anak-anaknya, berdasarkan pengetahuan dan informasi yang dimilikinya.
b. Hak untuk mendapatkan pelayanan dan
informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi yang berkualitas.
c. Hak untuk membuat keputusan yang bebas
dari diskriminasi, paksaan, atau kekerasan.
Masalah
krusial yang berkaitan dengan masalah hak reproduksi misalnya pembatasan jumlah
anak dan ”matherial care” kematian
di Indonesia yang mencapai 420 : 100.000. Adapun penyebab kematian adalah
pendarahan setelah melahirkan. Oleh karena itu, kematian perempuan sebagai ibu
harus diaudit, mengapa dan apa sebabnya.
Adapun
upaya yang telah dilakukan pemerintah dengan mengadopsi dua pendekatan paket
terpadu, pertama yaitu paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial
(PKRE) dengan muatan materi tentang kesehatan ibu dan bayi, Keluarga Berencana
(KB), pencegah serta penanganan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) dan HIV, serta
kemandulan. Kedua paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Konfrehensif
(PKRK) yang materinya terdiri dari empat materi di atas ditambah dengan materi
penanganan usia lanjut.
3. Tenaga Kerja Perempuan
Masalah kaum perempuan bekerja, khususnya di luar negeri merupakan primadona jika bicara tentang isu-isu gender. Persoalan kaum perempuan bekerja ini sangat kompleks karena berkaitan dengan situasi, lingkungan sosial budaya, dan tradisi masyarakat yang kadang memberi citra dan penilaian kurang positif bahwa paling tepat kaum perempuan hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga (domestik).
Padahal secara
konsepsional teoristis kaum perempuan sebagai mitra kaum laki-laki dalam segala
bidang semakin jelas adanya. Di Indonesia hal ini didukung oleh Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak
atas perkerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian perempuan dan
laki-laki berhak memiliki pekerjaan yang sama dan masing-masing bebas memilih
profesi yang sesuai dengan keahliannya.
Berkaitan
dengan banyaknya kaum perempuan yang bekerja di luar negeri, bukan hanya itu
namun juga masalah banyaknya pengangguran di Indonesia dan besarnya peluang
kerja di luar negeri. Untuk menyikapi hal ini diperlukan peningkatan pendidikan
antara lain memperbaiki sistem pendidikan, peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan peningkatan kualitas
pembinaan produktivitas.
- Resume : Pendidikan Gender -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar