A. Pengertian Murji’ah
Murji’ah merupakan salah satu theologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Nama Murji’ah berasal bahasa Arab yaitu dari kata Irja atau raja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan bagi pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dari rahmat Allah.
Murji’ah merupakan salah satu theologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Nama Murji’ah berasal bahasa Arab yaitu dari kata Irja atau raja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan bagi pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dari rahmat Allah.
Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Murji’ah dengan arti penangguhan menjelaskan bahwa aliran ini menyerahkan atau menangguhkan kepada Allah mengenai manusia yang melakukan dosa besar. Di samping itu, Murji’ah juga berarti orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa. Maksud aliran Murji’ah bersengketaan tersebut yakni Ali dan Muawwiyah serta pasukannya masing-masing, di hari kiamat kelak.
B. Sejarah Awal Terbentuknya Murji’ah
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul adanya aliran Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun theologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695 M. Pada dasarnya sulit untuk diketahui pasti siapa pendiri aliran ini. Namun teori ini mengatakan Hasan adalah orang yang pertama yang menyebut “Irja”, namun hal ini belum sepenuhnya menunjukkan bahwa dia adalah pendiri golongan ini. Karena Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang yang pertama membawa paham Murji’ah adalah Gailan Ad-Dimasyqi.
W. Montgomery Watt, penggagas teori irja’, dalam bukunya berjudul Islamic Philosophy and Theologi mengatakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam diwarnai dengan pertikaian sipil. Ibn Zubair mengklaim kekhalifaan di Mekah. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan (postnenment). Gagasan ini pertama kali dipergunakan oleh Hasan dalam surat pendeknya. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair”. Dengan sikap politik ini, Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam.
Teori lain pula mengatakan, kehadiran aliran Murji’ah merupakan salah satu kaitan peristiwa politik, yaitu persoalan kekhalifaan yang terjadi setelah wafatnya Utsman, berlanjut pada zaman Ali bin Abi Thalib dan memuncak pada perang Jamal dan Shiffin.
Peristiwa politik pada waktu itu menjadikan situasi menjadi kritis, di satu pihak orang tidak lagi dapat berpikir rasional, tapi emosional turut menentukan sikap dan pendirian dan di lain pihak ada peluang untuk melaksanakan ambisi pribadi untuk memperoleh kekuasaan.
Zubair ibn Awwam yang semula mengikuti Ali, kemudian membatalkannya dan bergabung pada Aisyah yang sebelumnya telah bertentangan batin dengan Ali. Pertentangan batin itu diperkuat sehingga menjadi kenyataan oleh Abdullah ibn Zubair yang ingin menduduki kursi Khalifah, dan golongan Muawwiyah yang selalu menentang Ali, dengan alasan menuntut bela terhadap kematian Utsman.
Dalam situasi yang seperti ini maka lahirlah sekelompok orang mukmin yang berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin melibatkan diri dalam pertikaian dan perselisihan itu, bahkan tidak mau menyalahkan salah satu pihak. Kelompok inilah yang dinamakan golongan atau aliran Murji’ah.
Adapun latar belakang terbentuknya Murji’ah yaitu:
a) Adanya pertentangan pendapat antara orang-orang Syi’ah dan Khawarij, menkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengkafirkan orang yang terlibat dan menyetujui adanya tahkim dalam Perang Shiffin.
b) Adanya pendapat yang menyalahkan pihak Aisyah, yang menyebabkan pecahnya Perang Shiffin.
c) Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Utsman ibn Affan.
C. Doktrin-Doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun theologis.
Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok. Maka dari itu, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun di bidang theologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan theologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapi menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Quran, hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Allah.
Adapun masalah pokok ilmu kalam dalam Murji’ah adalah:
1) Batas Antara Mukmin dan Kafir
Orang mukmin berbuat dosa besar tidak berubah menjadi kafir. Masalah orang tersebut masuk neraka atau tidak, menurut Murji’ah ditunda hukumnya dan diserahkan kepada Allah dengan senantiasa berharap Allah akan memberikan ampunan-Nya atas dosa mereka.
2) Fungsi Wahyu dan Akal
Menurut Murji’ah fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal.
Berkaitan dengan doktrin theologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki peringkat keempat dalam Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
W. Montgomery Watt, penggagas teori irja’, dalam bukunya berjudul Islamic Philosophy and Theologi mengatakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam diwarnai dengan pertikaian sipil. Ibn Zubair mengklaim kekhalifaan di Mekah. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan (postnenment). Gagasan ini pertama kali dipergunakan oleh Hasan dalam surat pendeknya. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair”. Dengan sikap politik ini, Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam.
Teori lain pula mengatakan, kehadiran aliran Murji’ah merupakan salah satu kaitan peristiwa politik, yaitu persoalan kekhalifaan yang terjadi setelah wafatnya Utsman, berlanjut pada zaman Ali bin Abi Thalib dan memuncak pada perang Jamal dan Shiffin.
Peristiwa politik pada waktu itu menjadikan situasi menjadi kritis, di satu pihak orang tidak lagi dapat berpikir rasional, tapi emosional turut menentukan sikap dan pendirian dan di lain pihak ada peluang untuk melaksanakan ambisi pribadi untuk memperoleh kekuasaan.
Zubair ibn Awwam yang semula mengikuti Ali, kemudian membatalkannya dan bergabung pada Aisyah yang sebelumnya telah bertentangan batin dengan Ali. Pertentangan batin itu diperkuat sehingga menjadi kenyataan oleh Abdullah ibn Zubair yang ingin menduduki kursi Khalifah, dan golongan Muawwiyah yang selalu menentang Ali, dengan alasan menuntut bela terhadap kematian Utsman.
Dalam situasi yang seperti ini maka lahirlah sekelompok orang mukmin yang berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin melibatkan diri dalam pertikaian dan perselisihan itu, bahkan tidak mau menyalahkan salah satu pihak. Kelompok inilah yang dinamakan golongan atau aliran Murji’ah.
Adapun latar belakang terbentuknya Murji’ah yaitu:
a) Adanya pertentangan pendapat antara orang-orang Syi’ah dan Khawarij, menkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengkafirkan orang yang terlibat dan menyetujui adanya tahkim dalam Perang Shiffin.
b) Adanya pendapat yang menyalahkan pihak Aisyah, yang menyebabkan pecahnya Perang Shiffin.
c) Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Utsman ibn Affan.
C. Doktrin-Doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun theologis.
Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok. Maka dari itu, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun di bidang theologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan theologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapi menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Quran, hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Allah.
Adapun masalah pokok ilmu kalam dalam Murji’ah adalah:
1) Batas Antara Mukmin dan Kafir
Orang mukmin berbuat dosa besar tidak berubah menjadi kafir. Masalah orang tersebut masuk neraka atau tidak, menurut Murji’ah ditunda hukumnya dan diserahkan kepada Allah dengan senantiasa berharap Allah akan memberikan ampunan-Nya atas dosa mereka.
2) Fungsi Wahyu dan Akal
Menurut Murji’ah fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal.
Berkaitan dengan doktrin theologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki peringkat keempat dalam Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sedangkan menurut Harun Nasution, ada empat ajaran pokok yang berkaitan dengan doktrin theologi Murji’ah, yaitu:
a. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al Asy’ary yang terlibat Tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c. Meletakkan pentingnya iman dari pada amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Dan Abu ‘A’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan.
b. Dasar keselamatan adalah keimanan semata. Selama masih ada iman dalam hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat atau gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia hanya perlu menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dari pendapat-pendapat di atas, pokok-pokok ajaran Murji’ah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Iman hanya pengakuan dalam hati.
2) Orang yang berbuat dosa besar tidak dihukum kafir, tapi masih mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
3) Hukum segala Perbuatan manusia ditangguhkan hingga sampai akhirat kelak.
D. Sekte-Sekte Murji’ah dan Tokoh-Tokohnya
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampak dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan Murji’ah. Dalam hal ini terdapat masalah yang cukup besar dalam mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya adalah adanya beberapa tokoh aliran pemikiran yang ditetapkan sebagai pengikut Murji’ah oleh seorang pengamat, namun oleh pengamat lain tidak. Tokoh yang dimaksud adalah Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah.
Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murjiah tersebut adalah:
a. Al-Jamiyah, pengikut Jahm bin Shufwan.
b. Ash-Shaliliyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi.
c. Al-Yumisyiah, pengikut Yunus As-Samary.
d. Asy-Syaubanyiah, pengikut Abu Syauban.
e. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus.
f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimsaqy.
g. An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.
h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah An-Nu’man.
i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bi Syabib.
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz Ath-Thaumi.
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.
l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
Dalam perjalanan sejarah aliran ini terpecah menjadi dua golongan atau sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim.
Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidaklah kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinann Tuhan akan mengampuninya, sehingga mereka tidak masuk neraka sama sekali.
Menurut golongan ini menyebutkan orang Islam yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah, Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits lainnya memberikan defenisi iman, yaitu pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan secara keseluruhan. Dan iman ini tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Serta tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.
Dengan gambaran seperti itu, maka iman semua orang Islam dianggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang melakukan dosa besar dan iman orang Islam yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah.
Adapun golongan Murji’ah ekstrim berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia, tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut Murji’ah ini menyatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran agama Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya kepada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. Pandangan seperti ini muncul dari prinsip yang mereka anut yaitu bahwa iman tempatnya di hati. Ia tidak bertambah dan tidak berkurang karena perbuatan apapun dan amal tidak berpengaruh terhadap iman.
Ajaran Murji’ah yang ekstrim sangat berbahaya jika diikuti karena dapat merusak akhlak dan budi pekerti yang luhur. Karena dalam pandangan Murji’ah ekstrim yang dipentingkan hanyalah iman, maka norma-norma akhlak dianggap kurang penting.
Golongan-golongan yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar